Selasa, 24 Mei 2016

MIMPI



DREAMS BOOK

       Dreams Book baru kukenal setelah beberapa tahun aku bekerja, sebuah buku berisi catatan segala sesuatu yang kita inginkan untuk dimiliki atau dialami. Untuk dimiliki adalah berupa barang, semisal tas sekolah, perlengkapan dapur, mobil, kulkas, dsb. Sedangkan yang dialami misalnya wisata keluarga, bertemu sahabat masa kecil, berhaji, dsb.
       Mulailah aku mencoba menuliskan beberapa hal yang kuinginkan, di dalam buku tulis yang halamannya bergambar, dengan tulisan yang kubuat serapi mungkin. Saat itu di nomor yang kesekian aku menuliskan ingin usaha menjahitku berkembang, menambah terus penghasilan dan bisa membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu / remaja putri.
       Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga tahun berganti, perlahan pelangganku bertambah, terkadang seorang pelanggan menjahitkan beberapa baju dalam sekali datang. Karyawanku juga bertambah satu demi satu, ada yang sudah berkeluarga ada juga yang baru lulus SMK. Alhamdulillah, aku selalu menyukurinya.
       Perjalanan usahaku tidak begitu saja berjalan mulus, karena sesuatu hal, tempat usahaku mengalami kepindahan sampai 5 kali, itu pun ada hikmahnya karena makin banyak juga pergantian tetangga. Biasanya para tetangga mencoba – coba menjahitkan, setelah cocok kebanyakan dari mereka menceritakannya kepada teman dan saudara mereka sehingga efek cerita dari mulut ke mulut itu mendatangkan pelanggan baru.
       Kini setelah berjalan 22 tahun, benar – benar aku bersyukur kepada Allah SWT.. Alhamdulillah aku mempunyai sebuah Butik Busana Wanita yang kuberi nama Karunia, di tempat yang strategis, dekat dengan alun – alun kota dan pusat perbelanjaan. Karyawanku pun sekarang 6, mereka juga amanah semua, hampir setiap hari membawa pulang pekerjaan.
       Masih ada mimpi – mimpi baru dalam menjalankan usahaku ini, masih juga kutulis di  Dream Book –ku. Buku catatan itu benar – benar bermanfaat untuk meningkatkan semangat kerja, dan tentu saja bisa menjadi acuan harapan yang kubisikkan di dalam doa malamku. Semoga terkabulkan, aamiin..

Selasa, 03 Mei 2016

Cerpen

Cinta di Ujung 40

       Namaku Nia, single parent dengan 1 anak laki-laki kelas 2 MTsN. Alhamdulillah aku mempunyai usaha catering di rumah yang lumayan lancar, yang sudah kurintis sejak aku selesaikan pendidikan D3-Boga-ku. Saat ini karyawanku sudah 6 orang, 5 di bagian masak dan 1 laki-laki bagian antar pesanan. Anakku Ahmad, dia rajin membantuku beberes rumah, menyapu halaman, juga senang memasak kalau sedang libur. Aku selalu mensyukuri kehidupanku, yang kujalani penuh rona warna warni.
       Di suatu masa dalam kehidupanku yang hampir setengah abad, aku dipertemukan dengan seorang laki-laki, usia terpaut 3 tahun diatasku, mas Hadi. Seorang duda dengan 1 anak perempuan kelas 4 SD, berpenghidupan yang lumayan mapan sebagai pedagang bakso dengan 1 warung dan 4 rombong keliling. Perkenalan kami berlangsung begitu saja saat mas Hadi mengantarkan anak tetangganya melamar kerja sebagai tukang masak di tempatku. Selang seminggu kemudian dia menengok karyawanku bersama dengan orang tua dari karyawanku itu. Mengobrollah kami agak lama, hingga membicarakan soal anak-anak juga.
       Karyawanku yang perempuan tidur dalam, yang laki-laki pulang ke rumahnya. Dalam keseharian kami bagai ibu dan anak-anaknya, sehingga sudah bukan jadi rahasia lagi kalau statusku saat ini adalah janda dan sudah 8 tahun belum juga menikah. Ulfi, si Anak Baru itu pun tahu, dan dari situlah berawalnya cerita ini.
       Setelah 1,5 bulan kemudian Ulfi pulang sambang (menengok keluarga) karena di tempatku memang ada giliran pulang setiap Sabtu malam dan balik kerja Senin pagi. Senin itu Ulfi balik kerja diantarkan oleh tetangganya lagi, kupersilahkan duduk karena Ulfi mengambil tas ransel yang diminta orang tuanya. Kami pun mengobrol ringan, aku juga baru tahu namanya Hadi yang mempunyai usaha dagang bakso. Wah, orang ini tergolong bersahaja juga pikirku, meski dia punya usaha lumayan tapi tiap ke rumah pasti naik motor. Pakaiannya juga sederhana, hem dengan celana kain dan bersendal selop. Ah, kenapa aku jadi memikirkannya..?
       Malam itu saat kami barengan menggoreng krupuk udang dan memasukkannya ke dalam kantong plastik satu-satu sambil santai ngobrol, entah apa topik pembicaraannya tiba-tiba si Ulfi menyuletuk:
"Bu, itu Pak Hadi duda sudah hampir 3 tahun lo.."
"Lhah, emang kenapa Fi?" tukasku agak kaget.
"Beliau ingin kenal Ibu.." jawab Ulfi ragu.
"Apa kamu cerita kalau Ibu ini janda?" tanyaku menyelidik.
".. beliau tanya-tanya Bu.." Ulfi kelihatan mulai takut.
       Aku kasihan juga melihat Ulfi diam, bahkan 4 anak yang lain ikut diam.. suasana jadi mencekam, Ahmad masih belajar di kamarnya. Bagaimanapun juga aku harus menjawab..
"Iya gak apa-apa Fi, kapan kalau ke sini hari Minggu saja kita gak begitu repot, Ahmad juga ada di rumah" jawabku pelan tapi pasti.
"Alhamdulillah, iya Bu.. Ulfi nanti sms ke Bapak biar ngabari Pak Hadi" sahut Ulfi berbinar.
"Tapi nanti kamu ikut nemani Ibu ngobrol ya?" pintaku.
"Iya Bu, siap.. Ulfi kira Ibu bakalan marah.." Ulfi tersenyum, dan semua ikut ceria.
       Esok paginya Ulfi laporan sambil membaca sms Bapaknya:
"Bu, kata Bapak, Pak Hadi nitip pesen kalau beliau kelahiran 1969, duda cerai, 5 bersaudara yang 1 guru SMA, 1 punya bengkel motor, 1 pedagang kebutuhan sehari-hari, dan ada 1 yang cuma tukang tambal ban. Kalau Ibu tidak berkenan, beliau tidak jadi ke sini" panjang banget, aku sampai pinjam hp.nya untuk kubaca sendiri..
"Iya" jawabku singkat sambil menyerahkan hp.nya.
"Iya gimana Bu?" Ulfi menatapku.
"Kamu bilang ke Bapakmu, kata Ibu Iya.. gitu aja" aku menahan senyum karena kepolosannya.
       Aku sudah berpikir panjang saat membaca sms itu, usianya 3 tahun di atasku, bagus.. aku tidak suka kalau usianya lebih muda dariku, sering kekanakan. Dia duda cerai tapi punya hak asuh anak, berarti saat perceraian itu Hakim memandang dia lebih baik daripada istrinya. Soal keluarganya, sepertinya bukan masalah bagiku. Kalau Ibuku selalu menyerahkan semua kepadaku karena menurut Beliau semuanya itu aku yang akan menjalani jadi aku harus memikirkan baik buruknya. Anakku sudah sejak kelas 5 SD mengerti bahwa Ayahnya berpisah dengan Ibunya, sudah ada Mama dan suatu saat akan ada Bapak juga. Dia sudah pernah 2 kali kuajak perkenalan dengan "teman Ibu", jadi Ahmad sudah faham kalau si Om yang teman Ibu itu akan ada kemungkinan menjadi Bapak.
       Tibalah hari Minggu, kemarin malam Bapaknya Ulfi sms menanyakan apakah hari ini aku ada waktu menerima tamu dan sudah kujawab Iya. Pagi ini tidak ada yang pulang sambang, semua anak ngumpul di rumah dan kerja bakti dengan sendirinya, menata halaman, bersih-bersih rumah, bahkan ada yang bikin es buah semangkok besar. Aku terharu, begitu perhatiannya mereka kepadaku. Ahmad juga sudah kuberitahu, dan dia anteng di rumah bakar-bakar sampah. Alhamdulillah..
"Ahmad, ayo mandi. Sudah jam 8 ini" panggilku mengingatkannya.
"Iya Bu, ini tinggal sedikit lagi" tukasnya sambil mengumpulkan sapu lidi dan tempat sampah bambu di tempatnya.
       Selesai mandi, Ahmad makan bersamaku, tampak wajahnya berseri. Aku lega, berarti dia berlapang dada soal tamu yang akan tiba. Kami biasa tanpa cakap kalau sedang makan, biasanya setelah mencuci piring baru ngobrol, kali ini kami duduk-duduk di ruang keluarga sambil menunggu...


*bersambung...

Selasa, 19 April 2016

Cerita Hati

       Mengenang di suatu saat ketika aku terpuruk dalam gelapnya realita yang harus aku jalani. Ketika usia sudah tidak muda lagi bagi seorang perawan di kota kecil : 28 tahun, dipertemukan dengan jejaka marbot musholla yang magang di perusahaan gypsum.
       Apa daya, kata seorang Bapak tidak mengijinkan. Runtuh dunia terasa, saat si Anak Baik itu berkata : Nikah adalah untuk menyatukan 2 keluarga, setelah ini kita tetap bersaudara.
      Dalam duduk diamku saat malam-malam panjang, kuuntai dalam hati Asma Agung-Nya... seakan diri ini duduk di taman penuh bunga matahari, berhampar rumput hijau bagai permadani. Damai dalam hati.
       Setelah itu hingga detik ini, bunga matahari di taman hati selalu memberiku kehangatan, seakan memberi salam Semangat Pagiii...