Cinta di Ujung 40
Namaku Nia, single parent dengan 1 anak laki-laki kelas 2 MTsN. Alhamdulillah aku mempunyai usaha catering di rumah yang lumayan lancar, yang sudah kurintis sejak aku selesaikan pendidikan D3-Boga-ku. Saat ini karyawanku sudah 6 orang, 5 di bagian masak dan 1 laki-laki bagian antar pesanan. Anakku Ahmad, dia rajin membantuku beberes rumah, menyapu halaman, juga senang memasak kalau sedang libur. Aku selalu mensyukuri kehidupanku, yang kujalani penuh rona warna warni.
Di suatu masa dalam kehidupanku yang hampir setengah abad, aku dipertemukan dengan seorang laki-laki, usia terpaut 3 tahun diatasku, mas Hadi. Seorang duda dengan 1 anak perempuan kelas 4 SD, berpenghidupan yang lumayan mapan sebagai pedagang bakso dengan 1 warung dan 4 rombong keliling. Perkenalan kami berlangsung begitu saja saat mas Hadi mengantarkan anak tetangganya melamar kerja sebagai tukang masak di tempatku. Selang seminggu kemudian dia menengok karyawanku bersama dengan orang tua dari karyawanku itu. Mengobrollah kami agak lama, hingga membicarakan soal anak-anak juga.
Karyawanku yang perempuan tidur dalam, yang laki-laki pulang ke rumahnya. Dalam keseharian kami bagai ibu dan anak-anaknya, sehingga sudah bukan jadi rahasia lagi kalau statusku saat ini adalah janda dan sudah 8 tahun belum juga menikah. Ulfi, si Anak Baru itu pun tahu, dan dari situlah berawalnya cerita ini.
Setelah 1,5 bulan kemudian Ulfi pulang sambang (menengok keluarga) karena di tempatku memang ada giliran pulang setiap Sabtu malam dan balik kerja Senin pagi. Senin itu Ulfi balik kerja diantarkan oleh tetangganya lagi, kupersilahkan duduk karena Ulfi mengambil tas ransel yang diminta orang tuanya. Kami pun mengobrol ringan, aku juga baru tahu namanya Hadi yang mempunyai usaha dagang bakso. Wah, orang ini tergolong bersahaja juga pikirku, meski dia punya usaha lumayan tapi tiap ke rumah pasti naik motor. Pakaiannya juga sederhana, hem dengan celana kain dan bersendal selop. Ah, kenapa aku jadi memikirkannya..?
Malam itu saat kami barengan menggoreng krupuk udang dan memasukkannya ke dalam kantong plastik satu-satu sambil santai ngobrol, entah apa topik pembicaraannya tiba-tiba si Ulfi menyuletuk:
"Bu, itu Pak Hadi duda sudah hampir 3 tahun lo.."
"Lhah, emang kenapa Fi?" tukasku agak kaget.
"Beliau ingin kenal Ibu.." jawab Ulfi ragu.
"Apa kamu cerita kalau Ibu ini janda?" tanyaku menyelidik.
".. beliau tanya-tanya Bu.." Ulfi kelihatan mulai takut.
Aku kasihan juga melihat Ulfi diam, bahkan 4 anak yang lain ikut diam.. suasana jadi mencekam, Ahmad masih belajar di kamarnya. Bagaimanapun juga aku harus menjawab..
"Iya gak apa-apa Fi, kapan kalau ke sini hari Minggu saja kita gak begitu repot, Ahmad juga ada di rumah" jawabku pelan tapi pasti.
"Alhamdulillah, iya Bu.. Ulfi nanti sms ke Bapak biar ngabari Pak Hadi" sahut Ulfi berbinar.
"Tapi nanti kamu ikut nemani Ibu ngobrol ya?" pintaku.
"Iya Bu, siap.. Ulfi kira Ibu bakalan marah.." Ulfi tersenyum, dan semua ikut ceria.
Esok paginya Ulfi laporan sambil membaca sms Bapaknya:
"Bu, kata Bapak, Pak Hadi nitip pesen kalau beliau kelahiran 1969, duda cerai, 5 bersaudara yang 1 guru SMA, 1 punya bengkel motor, 1 pedagang kebutuhan sehari-hari, dan ada 1 yang cuma tukang tambal ban. Kalau Ibu tidak berkenan, beliau tidak jadi ke sini" panjang banget, aku sampai pinjam hp.nya untuk kubaca sendiri..
"Iya" jawabku singkat sambil menyerahkan hp.nya.
"Iya gimana Bu?" Ulfi menatapku.
"Kamu bilang ke Bapakmu, kata Ibu Iya.. gitu aja" aku menahan senyum karena kepolosannya.
Aku sudah berpikir panjang saat membaca sms itu, usianya 3 tahun di atasku, bagus.. aku tidak suka kalau usianya lebih muda dariku, sering kekanakan. Dia duda cerai tapi punya hak asuh anak, berarti saat perceraian itu Hakim memandang dia lebih baik daripada istrinya. Soal keluarganya, sepertinya bukan masalah bagiku. Kalau Ibuku selalu menyerahkan semua kepadaku karena menurut Beliau semuanya itu aku yang akan menjalani jadi aku harus memikirkan baik buruknya. Anakku sudah sejak kelas 5 SD mengerti bahwa Ayahnya berpisah dengan Ibunya, sudah ada Mama dan suatu saat akan ada Bapak juga. Dia sudah pernah 2 kali kuajak perkenalan dengan "teman Ibu", jadi Ahmad sudah faham kalau si Om yang teman Ibu itu akan ada kemungkinan menjadi Bapak.
Tibalah hari Minggu, kemarin malam Bapaknya Ulfi sms menanyakan apakah hari ini aku ada waktu menerima tamu dan sudah kujawab Iya. Pagi ini tidak ada yang pulang sambang, semua anak ngumpul di rumah dan kerja bakti dengan sendirinya, menata halaman, bersih-bersih rumah, bahkan ada yang bikin es buah semangkok besar. Aku terharu, begitu perhatiannya mereka kepadaku. Ahmad juga sudah kuberitahu, dan dia anteng di rumah bakar-bakar sampah. Alhamdulillah..
"Ahmad, ayo mandi. Sudah jam 8 ini" panggilku mengingatkannya.
"Iya Bu, ini tinggal sedikit lagi" tukasnya sambil mengumpulkan sapu lidi dan tempat sampah bambu di tempatnya.
Selesai mandi, Ahmad makan bersamaku, tampak wajahnya berseri. Aku lega, berarti dia berlapang dada soal tamu yang akan tiba. Kami biasa tanpa cakap kalau sedang makan, biasanya setelah mencuci piring baru ngobrol, kali ini kami duduk-duduk di ruang keluarga sambil menunggu...
*bersambung...